Kilas Balik Puputan Margarana

Kilas Balik Puputan Margarana 

I.         Pendahuluan

Lima puluh empat tahun yang silam, tepatnya tanggal 20 Nopember tahun 1946 putra-putra terbaik bangsa yang tergabung dalam Pasukan inti Ngurah Rai “Ciung Wanara” bertempur sampai titik darah penghabisan demi cita-cita luhur membela dan menegakkan Proklamasi 17 Agustus 1945. Sang pemimpin I Gusti Ngurah Rai yang kini telah diangkat menjadi Pahlawan Nasional beserta anak buahnya Pasukan Ciung Wanara sebanyak sembilan puluh enam (96) prajurit gugur di medan laga membela Ibu Pertiwi  dari cengkraman imperalisme dan kolonialisme Belanda.

Kemudian apakah makna dibalik “Puputan Margarana” bila dikaitkan dengan kondisi bangsa Indonesia yang sedang dilanda krisis dan dihadapkan tantangan globalisasi, maka nilai-nilai perjuangan dan kejuangan Puputan Margarana sangat perlu diaktualisasikan dalam kerangka revitalisasi nilai-nilai kepahlawanan menghadapi tantangan masa depan Bangsa dan Negara.

II.      Gambaran Umum Perjuangan Revolusi Fisik di Bali

A.       Semangat Nasionalisme dan Patriotisme

Perjuangan perlawanan terhadap imperalisme dan kolonialisme Belanda di Pulau Dewata telah dilakukan sejak zaman kerajaan dipimpin oleh kalangan Puri. Fakta perjuangan untuk periode ini dapat disebutkan contohnya antara lain ialah: Puputan Jagaraga 1849, yang sebelumnya telah terjadi pertempuran fisik antara pihak kumpeni Belanda dengan kerajaan Buleleng tahun 1847 dan tahun 1849,Puputan Badung 1906, Bebalikan Wangaya 1906, dan Puputan Klungkung tahun 1908. Dengan adanya perlawanan yang gigih dari para raja di Bali, maka Bali merupakan benteng pertahanan terakhir dari seluruh kepulauan Nusantara terhadap intervensi Hindia Belanda yang pusatnya di Batavia (Jakarta). Tahun 1908 dimana lahir kebangkitan nasional di Jawa, sedangkan di Bali sedang terjadi pertempuran Puputan Klungkung. Gaung nasionalisme Budi Utomo di Jawa adalah sejiwa dengan patriotisme Puputan Klungkung di Bali yang obyeknya sama dan sebangun yaitu menegakkan bumi harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan keadilan. Berdasarkan hal tersebut maka Budi Utomo, walaupun agak terlambat, diterima dengan baik oleh masyarakat Bali dan cepat meluas penyebaran dan sosialisasinya menanamkan benih-benih nasionalisme di Bali, walau saat itu Belanda telah berkuasa sepenuhnya.

B.       Periode Pergerakan Kemerdekaan

Pada tahun 1920 di Denpasar berdiri sebuah organisasi ke partaian yang bernama Budi Utomo sebagai cabang di Bali dan pusatnya di Yogyakarta. Ketuanya adalah Putu Kaler yang pada waktu itu berkedudukan sebagai pemilik sekolah wilayah Bali. Aktivitas Budi Utomo lebih dititik beratkan dibidang pendidikan yang oleh kalangan penduduk dikenal dengan istilah PBH (Pemberantasan Buta Huruf). Walaupun program-programnya adalah dibidang pendidikan dan kesejahteraan sosial. Budi Utomo di Bali mendapat pengawasan sangat ketat dari Pemerintah Belanda.

Periode baru muncul di Bali dalam lahirnya partai politik yaitu Parindra (Partai Indonesia Raya) didirikan oleh seorang dokter dari Jawa bernama Dr. Soewarna. Pusat Perindra adalah di Surabaya. Misi utama Perindra di Bali ialah menyebarkan semangat kebangsaan di kalangan pemuda. Aktivitasnya di bidang pendidikan dengan mendirikan perguruan, antara lain peguruan Perindra di Tabanan, Denpasar dan Klungkung. Membentuk kepaduan yang disebut Suryawirawan, membentuk Bank Pasar di Singaraja dan membentuk Rukun Pelayaran di Pabean Buleleng, Benoa dan Padangbai. Pada tahun 1940 Perindra mengadakan rapat umum di Singaraja, Tabanan dan Denpasar dalam rangka mendukung tuntutan Indonesia berparlemen.

Sementara itu di kalangan wanita lahir organisasi pergerakan antara lain Puri Bali Sadar di bawah pimpinan I Gusti Ayu Rapeg pada tanggal 1 Oktober 1936 di Denpasar, dan juga berdiri organisasi kewanitaan yang lainnya. Sebagian dari para pemuda direkrut oleh Belanda menjadi militer disebut “Prayoda”. Jadi jelas bahwa embrio kesadaran kemerdekaan telah tertanam di kalangan pemuda Bali pada periode pergerakan.

C.       Perjuangan di Bawah Tanah Pada Zaman Jepang

Pada tanggal 19 Pebruari bala tentara Jepang mendarat di Pantai Sanur, dengan tanpa perlawanan yang berarti Belanda terdesak dan menyerah kalah kepada pihak Jepang, kini Bali dikuasai oleh Pemerintah Militer Jepang yang dipegang oleh angkasa Laut dan berfungsi sebagai pemerintahan sipil (Minseibu) dipimpin oleh Cookang berkedudukan di Singaraja. Jawatan-jawatan pada sistem Minseibu itu disebut Kaco.

Selama pendudukan Jepang, gerakan-gerakan yang berbau politik dibubarkan. Namun rasa kebangsaan dan cita-cita kemerdekaan telah tumbuh dan berkembang pada kalangan pemuda dan pemudi direkrut dalam organisasi militer dan semi militer, seperti contohnya Peta, PUTERA, dan lain-lainya.

Dalam situasi dan kondisi yang sangat pailit di bawah penindasan Jepang, munculah gerakan bawah tanah yang dipelopori oleh kaum nasionalisten dengan cita-cita yang tinggi dan rela berkorban. Para tokoh dan pimimpin gerakan bawah tanah tadi antara lain Made Wijaya Kusuma, I Gusti Ngurah Rai, Nyoman Mantik dan kawan-kawannya. Pada sekitar tahun 1944 gerakan bawah tanah telah meluas keseluruh wilayah Bali dengan formasi tokoh sebagai berikut: daerah Badung dan Denpasar para tokohnya ialah: I Gusti Ngurah Rai, Made Wijaya Kusuma, Made Regog, Anom Gangga, Nyoman Pegeg. Untuk daerah Tabanan para tokohnya antara lain: Wayan Bina, dan daerah Jembrana yaitu: A. A. B. Suteja, Nengah Tamu, Gede Muka, daerah Buleleng ialah Gede Puger, daerah Karangasem Gusti Lanang Rai, Ketut Rimbun. Adapun tokoh gerakan bawah tanah daerah Klungkung ialah Ngurah Anom dan Gusti Bagus Sugianyar. Kemudian daerah Gianyar ialah Anom Dada.

Gerakan bawah tanah menerapkan strategi infitrasi dengan membina kader-kadernya di organisasi formal PETA. Kaigun. Heiho dll. Sementara para pemuda yang tidak direkrut dalam organisasi formal tadi membentuk organisasi persilatan misalnya  ESSTI (Eka Setia Setiti), ISSM (Ikatan Siswa Sekolah Menengah), dan ikut aktif menjaga keamanan kampungnya masing-masing. Puncak pergerakan di bawah tanah ialah dengan mengadakan rapat rahasia di sebuah gedung Korpa di desa Gaji, pada tanggal 16 Agustus 1945 yang disusul berita bahwa Peta dibubarkan dan senjatanya dilucuti, dan berita Jepang di bom atom oleh sekutu.

D.       Gema Proklamasi dan Semangat Merah Putih

Berita-berita angin tentang kekalahan Jepang terhadap pihak sekutu, yaitu Amerika, Inggris, Australia dan Belanda telah semakin santer dikalangan masyarakat Bali. Hal tersebut semakin diyakini setelah Jepang membubarkan PETA dan melucuti senjatanya pada tanggal 15 Agustus 1945, dan para pemuda mantan PETA  pulang ke kampungnya masing-masing. Kekalahan Jepang disambut gembira oleh kaum pergerakan atau kaum nasionalisten, berita proklamasi kemerdekaan masih simpang siur, ada yang mendengar dari radio rahasia Jepang, dari mulut ke mulut, dan ada yang mendengar dari Cokang di Singaraja. Kesimpang siuran berita proklamasi tadi terjawab oleh kedatangan Mr. I Gusti Ketut Puji yang datang dari Jakarta, pada tanggal 23 Agustus 1945. Beliau adalah satu-satunya putra Bali yang menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dipimpin oleh Soekarno-Hatta. Mr. Puja ditunjuk oleh Bung Karno Presiden RI Pertama, untuk menjabat Gubernur Sunda Kecil, dan membawa mandate penunjukan kepada I. B. Manuaba sebagai pimpinan KNI-Sunda Kecil. Sesuai dengan jabatan dan kedudukannya maka diadakan konsolidasi membentuk lembaga pemerintahan daerah, gema proklamasi kemerdekaan dan aksi pengibaran Sang Merah Putih menyebar keseluruh pelosok Pulau Dewata. Kegembiraan rakyat Bali menyambut kemerdekaan terlihat dengan antusiasnya para pemuda masuk BKR dan membentuk badan-badan perjuangan kelaskaran pemuda dan organisasi kewanitaan. Militansi Jiwa Semangat Merah Putih ditunjukkan oleh seoran pemuda Made Merta yang gugur diterjang mitraliur NICA di pelabuhan Buleleng pada tanggal 27 Oktober 1945. Beliau adalah Pahlawan Merah Putih, tumbal atau caru pertama perjuangan kemerdekaan di Bali.

Gema Proklamasi Kemerdekaan disambut para pemuda pejuang dengan membentuk badan perjuangan seperti contohnya: AMI (Anggkatan Muda Indonesia) dan AMI Denpasar kemudian menjadi PRI (Pemuda Republik Indonesia). Sejalan dengan perkembangan di pusat, maka pada 5 Oktober 1945, BKR dirubah  menjadi TKR, maka I Gusti Ngurah Rai diangkat sebagai Komandan TKR Sunda Kecil dengan pangkat Mayor dalam bidang KNI Badung tanggal 30 Oktober 1945, namun setelah di Yogya dinaikkan pangkatnya menjadi Letnan Kolonel (Overste). Tanggal 8 Desember 1945 di Markas TKR Denpasar diadakan rapat yang memutuskan akan diadakan serangan umum tanggal 13 Desember 1945 untuk merebut kekuasaan dari Jepang dan melucuti senjatanya. Serangan umum tadi dikenal dengan istilah sandhi “kiri kuni”. Namun serangan umum tadi gagal karena telah tercium pihak Jepang.

Dengan gagalnya serangan umum, maka Pimpinan TKR bernusyawarah dan memutuskan untuk mengirim ekspedisi ke Jawa guna mengadakan koordinasi langsung dengan pihak Pemeritah Pusat RI. Untuk itu maka pada tanggal 19 Desember ekspedisi ke Jawa dilaksanakan di bawah pimpinan I Gusti Ngurah Rai, disertai I Gusti Bagus Sugianyar, Gusti Putu Wisnu, Wayan Ledang, Cok Ngurah Singapadu dan beberapa pemuda pejuang. Sementara pimpinan TKR melakukan konsolidasi ke Jawa, Gubernur Mr. Puja dan Ketua KNI I. B. Manuaba ditangkap oleh Jepang atas perintah sekutu dengan dalih Bali tidak aman.

E.       Pekik Perjuangan “Merdeka”, Sekali Merdeka Tetap Merdeka

Pada tanggal 16 April 1946, ekspedisi Ngurah Rai kembali dari Jawa dengan disertai bala bantuan kekuatan militer dari Jawa. Pak Rai mendarat di Yeh Kuning dan langsung menuju Desa Munduk Malang, Tabanan dan membuat markas disana. Dalam rapat pertemuan dengan seluruh komponen perjuangan di Munduk Malang itu, dengan dilandasi petunjuk dari Pimpinan TKR Pusat di Yogya, akhirnya diputuskan membentuk badan perjuangan. Badan perjuangan dimaksud adalah DPRI Sunda Kecil (Dewan Perjuangan Republik Indonesia), sebagai pucuk pimpinan ialah I Gusti Ngurah Rai yang sekaligus sebagai Panglima TKR Sunda Kecil.

Sementara disatu pihak konsolidasi DPRI-SK berlangsung sampai dengan pembentukan markas-markas pada tiap Kabupaten dan balabantuan Angkatan Laut dari Jawa di bawah pimpinan Kapten Markadi telah bergabung dengan DPRI-SK membentuk satu kekuatan perjuangan yang siap tempur. Di lain pihak tentara Sekutu yang juga diboncengi tentara NICA Belanda mulai mengadakan pendaratan di Bali. Pasukan Gajah Merah merajalanda mengadakan aksi militer menangkapi dan menyiksa para pemuda pejuang sambil menghasut rakyat untuk membenci TKR dan Republik. Menghadapi strategi Belanda itu, maka DPRI-SK membentuk Pasukan Induk yang terdiri dari Pasukan Denpasar, Badung, Tabanan dan Buleleng. Kemudian pasukan induk tadi mengadakan Long March ke seluruh wilayah Bali sambil melakukan pertempuran, seperti misalnya Serangan Umum Denpasar, Pertempuran Tanah Aron dan pertempuran-pertempuran di lain daerah. Tujuan pokok Long March adalah memberikan pemantapan kesadaran dan keyakinan perjuangan demi kemerdekaan dan Sang Merah Putih.

Dalam perjalanan yang sangat panjang dan melelahkan, sambil bertempur dan membina semangat rakyat, maka akhirnya Pasukan Induk kehabisan amunisi dan logistic, dan Belanda telah mengepung dari daerah-daerah pantai dan pertokoan. Banyak korban telah berguguran, baik dari pihak DPRI maupun dari pihak NICA, menghadapi kondisi intern dan ekstern maka pada tanggal 23 Juli 1946 Pasukan Induk mengadakan rapat terakhir di Muduk Pengorengan. Dalam pertemuan itu Pasukan Induk dipecah-pecah menjadikan pasukan kecil dan diperintahkan kembali berjuang di wilayah masing-masing. Termasuk Pasukan Angkatan Laut kembali ke Jawa adapun Pak Rai bersama beberapa staf pimpinan TKR rencananya akan pergi ke Jawa untuk melaporkan situasi di Bali. Namun tidak ada celah untuk keluar karena seluruh wilayah pantai telah dijaga ketat oleh serdadu NICA.

Karena sulitnya untuk lolos ke Jawa maka akhirnya Pak Raid an staf TKR/MBO DPRI memutuskan untuk kembali ke pedalaman melanjutkan perjuangan secara bergerilya. Rombongan Pak Rai bergabung dengan Staf II Melati di Desa Marga, pasukan gabungan antara staf inti MBO DPRI dengan Staf II Melati Desa Marga, ditambah pemuda pejuang Tabanan, dan pasukan khusus inteljen MBO. Kemudian ditambahkan persenjataan hasil penyerbuan Tangsi Polisi Belanda di Kediri dipimpin Wagimin, maka terbentuklah satu pasukan bersenjata yang kemudian diberi nama Ciung Wanara.

Pada tanggal 3 Mei 1946, pihak Belanda mengirim surat kepada Pak Rai yang ditandatangani oleh Kapten Infanteri J. B. T. Konig yang isinya mengharap agar I Gusti Ngurah Rai mau berunding dengan pihak NICA/Belanda. Pak Rai yang juga mantan “Prayoda” telah mengetahui taktik dan strategi kelicikan Belanda yang memanfaatkan kelemahan lawan. Atas dasar itulah maka surat tadi dijawab secara tegas oleh Pak Rai yang intinya menolak berkompromi dan akan bertempur terus sampai cita-cita berhasil. Surat balasan Pak Rai sekarang diabadikan dalam Prasasti Puputan Taman Pujaan Bangsa Margarana.

Konsistensi terhadap cita-cita proklamasi kemerdekaan disatu pihak dan rasa tanggungjawab terhadap amanat perjuangan membela kepentingan rakyat, Pak Rai beserta pasukan Ciung Wanara telah membuktikan keyakinan dan kebenaran prinsip yang dipegang melalui pertempuran sampai titik darah penghabisan di Desa Marga pada tanggal 20 Nopember 1946 yang kini kita kenal dengan istilah “Puputan Margarana” Puput artinya jalan terakhir atau pemungkas, Marga artinya jalan yang harus ditempuh dan rana artinya perang. Jadi Puputan Margarana artinya jalan terakhir yang harus ditempuh demi mewujudkan cita-cita dan mempertahankan prinsip kebenaran ialah perang melawan penjajah tanpa mengenal menyerah maupun kompromi.

Demikianlah gambaran umum perjuangan revolusi fisik membela dan menegakkan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 di bawah pimpinan Pahlawan Nasional Brigjen Anumerta I Gusti Ngurah Rai yang telah mengharumkan nama bangsa Indonesia dan masyarakat Bali khususnya. Kini beliau bersama Pasukan Ciung Wanara telah tiada, namun semangat dan jiwa serta nilai-nilai perjuangannya demi bangsa dan negara akan tetap abadi sepanjang zaman. Semoga arwah beliau dan arwah para pejuang mencapai kemoksah diterima di sisi Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

 

III.   Revitalisasi Nilai-Nilai Puputan Margarana Menghadapi Tantangan Masa Depan Bangsa dan Otonomisasi

 

Kini kita sebagai bangsa yang permasalahan nasional yang dihadapi dalam kerangka mengisi kemerdekaan mewujudkan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, bukan semakin ringan, namun justru semakin kompleks dan bersifat multidimensional, sejalan dengan derap langkah reformasi sebagai upaya menyelamatkan dan normalisasi kehidupan nasional dari krisis multi kompleks, maka jiwa, semangat dan nilai-nilai kepahlawanan umumnya, dan nilai-nilai Puputan Margarana sangat relevan untuk digali dan dikembang tumbuhkan pada kalangan generasi pewaris Bangsa dan Negara. Janganlah warisan pejuang kacau dan menjadi rebutan, dan jangan salah langkah menentukan bentuk perjuangan dan politik yang tidak sesuai dengan cita-cita Proklamasi, karena hal tersebut akan dapat membawa kita mengambang perpecahan dan kehancuran. Namun sikap konsisten dan komitmen terhadap nilai-nilai perjuangan Proklamasi 17 Agustus 1945, maka kita akan menjadi bangsa yang besar dan kuat, yaitu merdeka, bersatu, adil, dan makmur.

IV.   Penutup

Sebagai penutup analisis kilas balik Puputan Margarana dikaitkan menatap wajah Bangsa Indonesia ke depan, dan khususnya masa depan Bali memasuki millennium ke tiga, maka dapat ditarik satu konkluksi bahwa menggali dan menumbuh kembangkan nilai-nilai perjuangan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah merupakan modal yang sangat mendasar demi meluruskan arah perjuangan mengisi Kemerdekaan sesuai cita-cita proklamasi itu sendiri dan dengan pedoman kepada nilai-nilai tersebut maka kita tidak akan terombang-ambing terbawa arus perubahan zaman.

Ciung Wanara Dalam Cerita Rakyat Bali

Dikisahkan di kerajaan Banjranegara memerintah seorang raja berama Prabu Bajranegara. Beliau mempunyai istri 2 orang, yakni yang pertama bernama Ratnaningrum dan yang kedua bernama Puspawati. Yang pertama tidak berputra, sedangkan yang kedua berputra seorang  laki-laki. Oleh karena istri pertama tidak berputra, maka timbul iri hati terhadap istri raja yang kedua. Ratnaningrum bekerjasama dengan Patih Saunggaling untuk mencuri bayi dari madunya. Bila Patih Saunggaling berhasil, apapun yang diminta akan diberikan. Bahkan walaupun dengan mengorbankan kehormatannya akan diberikan kepada Saunggaling.

Singkat cerita, bayi itupun dapat dicuri dan ditaruh pada sebuah peti dan langsung dihanyutkan ke sebuah sungai. Ketika bayi itu melewati hutan, terlihat seorang dukuh ada sebuah kayu yang hanyut dan akhirnya didekati. Ternyata yang dikira kayu gelontongan itu adalah sebuah peti, dan ketika dibuka berisi bayi dan bayi itupun menangis. Bayi itupun kemudian dipelihara di pondoknya. Suatu kebetulan Bapa Dukuh itu di pondoknya mempunyai seekor anak ayam dan kebetulan jantan, dan ayam itulah selalu dekat dengan sang bayi. Pada akhirnya ayam itulah yang menjadi teman sepermainan dari bayi itu. Bapa Dukuh lalu memberikan nama terhadap anak itu I Duduk. Sesudah besar, sering bayi itu menanyakan kepada Bapa Dukuh, siapa sebenarnya ayah dan ibunya. Bapa Dukuh sering memberikan jawaban bahwa dia itu tidak mempunyai ayah dan ibu, namun ia tidak percaya. Suatu hari I Duduk diajak ke hutan mencari kayu bakar. Ketika itu terlihat oleh I Duduk ada burung bertengger di dahan sebuah pohon. I Duduk pun menanyakan burung itu, karena keindahan bulunya berwarna hitam dengan mulut yang kuning gading. Bapa Dukuh pun menjelaskan bahwa burung itu adalah burung Ciung namanya. I Duduk pun akhirnya meminta agar dinamakan I Ciung. Karena menangis, akhirnya I Duduk dinamakan I Ciung.

Kemudian I Ciung melihat ada binatang melompat-lompat dari sebuah dahan kayu ke dahan yang lain. Ia pun menanyakan kepada Bapa Dukuh, apa nama binatang itu, Bapa Dukuh menjelaskan kepada I Ciung bahwa itu adalah Wanara alias bojog, I Ciung pun ingin bernama Wanara. Karena menangis akhirnya kehendaknya pun dituruti oleh Bapa Dukuh dengan menamakan Ciung Wanara. Bukan main senangnya baru dinamakan Ciung Wanara. Kemudian dikisahkan di kerajaan Bajranegara bahwa raja mengadakan ramai-ramai selama satu bulan tujuh hari. Malam hari dipentaskan bermacam-macam unen-unen (kesenian), sedangkan siang hari diselenggarakan aduan ayam. Raja senang berjudi bahkan sampai harta bendanya dipertaruhkan. Raja Bajranegara yang terkenal memerintah dengan sewenang-wenang banyak kalah dalam judian sehingga menjadi gelap mata.

Saat aduan ayam berlangsung, datanglah Ciung Wanara bersama Bapa Dukuh dengan membawa ayam jantan yang memang diajak bermain-main sejak kecil. Ketika ayamnya dikeluarkan, semua orang tertawa melihat ayam yang dibawanya. Itu disebabkan karena ayam itu nampak ingusan alias konyol. Karena memang tidak pernah dikurung sebagaimana ayam-ayam lainnya. Karena dianggap mustahil ayam itu akan menang ketika dipertandingkan dengan ayam raja, maka raja pun bersabda: ih Ciung Wanara, kalau ayammu yang menang melawan ayamku, apa yang kau minta akan aku berikan. Ciung Wanara pun akhirnya matur sembah dengan raja dengan memberikan jawaban bahwa dirinya tidak minta apa-apa, hanya meminta sejumlah tanah selebar selendangnya. Rajapun menjanjikan. Namun bila ayamnya Ciung Wanara yang ternyata kalah, ia siap dibunuh.

Nah singkat cerita, setelah ayam itu bertarung, ternyata ayam raja yang kalah. Janji rajapun ditepati. Namun setelah selendang yang dibawa oleh Ciung Wanara dibuka ternyata sangat lebar dan lebarnya itu hampir seluas kekuasaan raja Bajranegara. Oleh karena demikian, maka rajapun menyerahkan kekuasaan kepada Ciung Wanara dan diapun menjadi raja di sana. Oleh karena raja yang memerintah dengan sewenang-wenang, rakyat mendemo dengan tuntutan agar raja dihukum mati. Namun Ciung Wanara tidak rela membunuhnya dan mengambil jalan tengah yakni hanya dengan keputusan raja di penjarakan dengan krangkeng.

Tetapi sayang bagi ibunya, yakni Puspawati, karena putranya hilang sakit hati, dan akhirnya meninggal. Sedangkan istri raja yang pertama, Ratnaningrum, karena berbuat jahat, segera menerima pahalanya, yakni menerima imbalan sakit jiwa (gila) dan pada akhirnya dibunuh oleh massa.

Ciung Wanara pada suatu hari bersemadi. Setelah selesai bersemadi, lalu menendang krangkeng besi yang digunakan untuk memenjarakan raja. Krangkeng itu jatuh di suatu tempat yang kemudian bernama Tanjung. (Diceritakan oleh Md. Sanggra)

Analisa.

Simbul Ciung Wanara

Nah, bagaimana halnya dengan pasukan inti yang kemudian dikenal dengan nama “Ciung Wanara” yang dipimpin I Gusti Ngurah Rai yang gugur di Marga. Dapat dikatakan nilai-nilai dari cerita-cerita besar, kemungkinan besar pengaruhnya terhadap nama pasukan inti tersebut yang dibentuk oleh Pak Rai di desa Marga setelah berhasil merampas senjata polisi NICA di kota Tabanan.

Burung Ciung sebagaimana disebutkan dalam cerita di atas, adalah burung yang berwarna hitam dengan warna mulut, kuku, dan telinga berwarna kuning melambangkan ketegasan, keagungan dan kewenangan. Burung Ciung adalah burung yang tinggi, patuh, taat, dan terpercaya dan bisa juga sebagai alat komunikasi.

Sedangkan kera adalah melambangkan kewiraan, kesaktian dan bermasyarakat yang kuta. Warna putih pada bulunya menunjukkan kesucian, kemurnian tanpa pamrih, dengan sifat seiya sekata dalam suka maupun duka, sehidup semati dalam tingkah dan gerak. Dalam menghadapi musuh, dikenal taktik “Hit and Run” artinya hancurkan dan konsolidasi dan muncul kembali untuk menghancurkan musuh.

Perlu ditegaskan, bahwa khususnya kera dalam cerita pewayangan terkenal dengan jiwa kesatrianya dalam pertempuran. Jiwa kepahlawanannya sangat tinggi. Contoh: Hanoman, Subali, Sugriwa, Menda, Anila, dan lain-lain(SS).

Ciung Wanara dan Jatidiri Pahlawan Dalam

Puputan Margarana

A.      Mitologi Ciung Wanara

Dalam Babad Tanah Jawi, disebutkan kisah Ciung Wanara dari Kerajaan Pejajaran. Silsilah asal usul leluhurnya adalah dari kerajaan Koripan, dari keturunan Raja-raja di pulau Jawa. Atas petunjuk Sang Hyang Naradha, maka Betara Guru merupakan Bethara Brahma ke marcapada untuk menjadi Raja di Gilingwesi, menggantikan Prabu Watugunung di tanah Jawi. Bethara Brahma berputera perempuan bernama Brahmani. Brahmani berputera Tritrusha. Tritrusha berputra Perikenan. Perikenan berputra Manumansa, dan Manumansa berputra Sekutrem, Sekutrem berputra Palasara, dan Palasara berputra Bagawan Abyasa, Abyasa berputra Pandudewata menjadi raja di Astinaputra. Pandudewata berputra Arjuna, dan Arjuna berputra Abimanyu, Abumanyu berputra Parikesit, dan Parikesit berputra Yudayana, kemudian Yudayana berputra Gendrayana, Gendrayana berputra Jayabaya.

Jayabaya di Kediri berputra Jayamijaya, dan Jayamijaya berputra Jayamisena, Jayamisena berputra Kusumawicitra, kemudian Kusumawicitra berputra Citrasoma, dan Citrasoma berputra Pancadriya, kemudian berputra Anglingdriya, Anglingdriya berputra Prabu Suwelacala menguasai menjadi Raja Tanah Jawi, negerinya disebut Purwacarita, Prabu Suwelacala berputra Sri Mahapuhung, dan patihnya bernama Jugulmuda, Sri Mahapuhung berputra Kandhiawan, dan patihnya Kothara, Kandiawan berputra lima orang, Panuhun menjadi raja di Bagelen, Sadhanggarba menjadi raja di Jepara, Karung Kala menjadi raja di Prambanan bergelar Ratu Baka, Tunggulametung, kemudian terakhir Resi Gathayu menggantikan ayahandanya menjadi raja di Koripan.

Resi Gathayu berputra lima orang yaitu: Rara Sucian, Lembuamiluhur menjadi raja di Jenggala, Lembupeteng menjadi raja di Kediri. Lembuperangarang menjadi raja di Gelagang, dan terakhir perempuan bernama Mregiwangsa bersuami Lembuwijaya menjadi raja di Singasari. Lembuamiluhur raja Jenggala berputra Panji, beristri Putri Kediri Dewi Candrakirana atau Dewi Galuh, Panji berputra Kudalayean menjadi raja di Pajajaran, Prabu Layeyan berputra Banjaransari, dan Banjaransari berputra Mudhingsari, kemudian Mudhingsari berputra Mudhingwangi, Mudhingwangi berputra Sri Pamekas menjadi raja di Pajajaran, Prabu Sri Pamekas berputra tiga orang yaitu: Arya Bengah bergelar Raden banyak Ngambar menjadi raja di Galuh, kemudian Raden Sasuruh bergelar Raden Banyak Catra, dan Ciung Wanara bergelar Eaden Banyak Wide dikemudian hari menjadi raja di Pajajaran menggantikan Sri Pamekas.

B.       Ciung Wanara Dan Asal-Usul Serta Artinya

Di salah satu desa di daerah pegunungan wilayah Pajajaran ada seorang petapa sakti dan tinggi ilmunya bernama Anjar Cempaka. Pada suatu ketika raja Pajajaran Sri Pamekas mendengar berita atas kesaktian Anjar Cempaka, maka beliau berkenan akan mengujinya. Prabu Sri Pamekas memerintahkan kepada Sang Permaisuri untuk berdandan dengan pakaian sedemikian rupa sehingga meyerupai orang yang sedang hamil, di dalam perutnya ditaruh sebuah benda pusaka kerajaan disebut Bokor Kencana, sejenis dulang, atau mangkok besar. Kemudian Sang Prabu memanggil Ki Patih, dan disuruh mengantarkan Sang Permaisuri ke rumah kediaman Anjar Cempaka dan menanyakan ikhwal kehamilannya.

Sesampainya di tempat Anjar Cempaka, Ki Patih mengutarakan apa maksud kedatangannya, bahwa ia dititahkan oleh Sang Prabu untuk menanyakan kehamilan Sang Permaisuri, kelak akan lahir anak laki-laki ataukah wanita. Anjar Cempaka langsung menjawab bahwa bayi yang masih dalam kandungan Sang Permaisuri adalah laki-laki. Atas jawaban tersebut kemudian Ki Patih pamit untuk pulang ke Istana bersama Sang Permaisuri. Setelah sampai di Istana, Ki Patih mengutarakan kepada Sang Prabu Sri Pamekas bahwa kandungan Sang Permaisuri kelak akan lahir seorang anak laki-laki. Mendengar penuturan Ki Patih, maka Sang Prabu tersenyum sinis dan bergumam dalam hatinya bahwa Anjar Cempaka ilmunya masih rendah. Kemudian Sang Permaisuri disuruh masuk ke kamar untuk mengganti pakaian, namun keajaiban terjadi pada diri Sang Permaisuri, setelah baju dandanannya dibuka ternyata dirinya hamil sungguhan. Sang Permaisuri merasa takut dan malu, maka beliau tidak berani ke luar dari kamarnya. Sang Prabu akhirnya mengetahui istrinya hamil sungguhan dan pusaka Bokor Kencana hilang, Sang Prabu murka dan menitahkan kepada Ki Patih agar membunuh Anjar Cempaka. Maka Ki Patih langsung berangkat ke tempat Anjar Cempaka serta mengutarakan niatnya dihadapan Anjar Cempaka. Mendengar Sang Prabu telah membunuh diriku dengan tanpa dosa dari hampa, maka kelak jika kandungan itu telah lahir seorang anak laki-laki, disanalah tempat pembalasanku”. Sejak mendengar suara gaib itu Sang Prabu selalu gelisah dan murung, kerajaan Pajajaran dilanda musibah kelaparan karena kekeringan dan banyak rakyatnya yang jatuh sakit serta meninggal dunia.

Melihat keadaan kerajaan dan rakyat Pajajaran dilanda musibah penyakit dan kelaparan itu, Sang Prabu memanggil seluruh tabib, pendeta, dan para dukun sewilayah Pajajaran untuk berusaha mencari jalan ke luar mengatasinya. Atas petunjuk gaib dari para pendeta dan orang-orang sakti yang sedang berkumpul di istana, Sang Prabu disarankan mengadakan upacara selamatan pesta dengan seluruh rakyat di istana, dan pada malam pesta itu Sang Prabu harus tidur bersama Sang Permaisuri. Namun pada dinihari, Sang Permaisuri melahirkan seorang anak laki-laki. Para Nujun dan Pendeta dipanggil, Sang Prabu teringat akan suara gaib dari Anjar Cempaka, Sang Prabu berniat akan membunuh putranya itu, namun dicegah oleh para nujun dan disarankan agar dihanyutkan saja di sungai Krawang. Kemudian salah seorang abdi dalem punggawa istana diperintahkan agar membuat kotak untuk menghanyutkan Sang Bayi di Sungai Karawang dan jangan sampai ada seorangpun yang mengetahuinya. Sang Abdi Dalem melaksanakan tugasnya dengan sempurna. Dijari-jari kemudian kerajaan Pajajahan berangsur-angsur pulih kembali keadaannya semakin membaik.

Sahdan Ki Patih dan istrinya dalam pengembaraannya dari hutan-kehutan, akhirnya tinggal diseluruh delta di muara sungai Karawang dan berganti nama menjadi Ki Buyut dan Ni Buyut. Pada suatu hari Ki Buyut hendak mandi di sungai melihat sebuah benda tersangkut di bawah pohon Beringin besar yang banyak dihuni oleh kera dan burung-burung. Benda tersebut ternyata sebuah kotak kayu cendana di ukir indah sekali. Kemudian Ki Buyut mengambil kotak tadi dan dibawa pulang ke rumah. Setelah sampai disuruh kotak tadi dibuka, dan alangkah terkejutnya hati Ki Buyut disaksikan istrinya Ni Buyut ternyata isi di dalam kotak adalah seorang bayi laki-laki yang molek dan rupawan. Ki Buyut dan Ni Buyut merasa gembira dianugrahi seorang anak dari Dewata. Bayi tadi kemudian diberi nama Ki Jaka.

Ki Jaka tumbuh sempurna dengan dibekali ilmu kesampurnaan dan kanuragan oleh Ki Buyut. Pada suatu malam Jumat Kliwon Ki Jaka bermimpi ditemui seorang petapa sakti bernama Anjar Cempaka dan mengatakan bahwa Ki Buyut dan Ni Buyut sebenarnya bukan orang tua kandungnya. Pagi harinya, Ki Jaka dengan berat hati mengutarakan mimpinya semalam, Ki Buyut teringat peristiwa masa lalu, maka dikatakan bahwa ayah kandung Ki Jaka sedang bertapa di suatu hutan. Ki Jaka minta dengan hormat untuk di antar menemui ayah kandungnya. Kemudian mereka berdua yaitu Ki Buyut dan Ki Jaka berpamitan kepada Ni Buyut akan pergi ke hutan, sesampainya di tengah hutan mereka berdua beristirahat di bawah pohon beringin besar tempat Ki Buyut mengambil kotak bayi. Di situ Ki Jaka terheran-heran melihat burung yang indah dan menanyakan namanya, dijawab oleh Ki Buyut bahwa nama burung itu adalah Ciung, mendengar nama itu Ki Jaka tertarik dan minta namanya diganti dengan Ciung, lalu Ki Jaka melihat kera yang gesit berlompatan di atas dahan pohon beringin dan menanyakan namanya, di jawab oleh Ki Buyut bahwa binatang itu namanya Wanara, Ki Jaka tertarik juga dengan nama itu, maka namanya minta ditambah dengan Wanara menjadi “Ciung Wanara”.

Setelah mendapat nama baru itu, Ciung Wanara menanyakan dimana tempat ayahnya, Ki Buyut menjawab bahwa ayahnya sudah selesai bertapabrata di hutan dan sekarang bertempat di Pajajaran menjadi seorang Empu Sakti. Kemudian mereka berdua pergi menuju Pajajaran dan sampai di tempat Empu Sakti yang masih saudara kandung Ki Buyut, dulu Ki Patih, setelah sampai di tempat Empu Sakti, Ki Buyut menyerahkan Ciung Wanara dan diterima dengan baik oleh Empu Sakti. Dalam waktu yang tidak terlalu lama Ciung Wanara telah menguasai ilmu Pande membuat pusaka tanpa memukul palu, cukup dengan pijatan jari-jari tangannya saja. Dan suatu ketika Ciung Wanara diajak oleh Empu Sakti ke istana Pajajaran menghadap Sang Prabu Sri Pamekas, di sekitar istana Sang Pawang Gajah sedang memandikan Gajah milik Sang Prabu, begitu Ciung Wanara lewat, gajah tadi berlari menghampirinya dan menunduk dihadap Ciung Wanara member isyarat agar naik kepunggungnya. Ciung Wanara naik ke punggung gajah dan kemudian gajah tadi bangun berjalan menghadap Sang Prabu, Empu Sakti mengikuti dari belakang dan kemudian ikut menghadap Sang Prabu dan menerangkan bahwa Ciung Wanara adalah anak angkatnya yang diserahkan oleh Ki Buyut.

Sang Prabu menerima pengabdian Ciung Wanara menjadi Punggawa kerajaan dan diangkat oleh Sang Prabu dengan diberi gelar Raden Banyak Wide, diberi kedudukan Adipati pemimpin prajurit kerajaan Pajajaran. Pada suatu ketika Raden Banyak Wide dipanggil oleh Sang Permaisuri secara diam-diam tanpa sepengetahuan Sang Prabu. Sang Permaisuri dalam hatinya yakin bahwa Ciung Wanara adalah putranya yang dulu dihanyutkan di sungai Karawang. Maka diceritakan semua ikhwal kejadian dan peristiwa dari awal sampai akhir kepada Ciung Wanara.

Pada suatu hari Sang Prabu bertandang ke kediama Raden Banyak Wide dan disambut dengan gembira dan penuh hormat setelah masuk ke dalam ruang tamu Sang Prabu tertarik pada sebuah “Kanthil” yaitu tempat tidur yang terbuat dari besi seperti lumbung kecil, Sang Prabu mencoba tidur di dalam Kanthil, dan setelah Sang Prabu masuk, maka pintunya menutup dengan sendirinya dan tidak dapat dibuka, Sang Prabu terjebak di dalam Kanthil. Pada saat itu terjadi suatu keajaiban turun hujan lebat bagaikan air bah tumpah dari langit. Pajajaran dilanda banjir bandang yang sangat deras airnya. Kanthil yang di dalamnya ada Sang Prabu hanyut ke sungai Krawang sampai ke laut.

Mendengar peristiwa itu, pihak istana tertutama Arya Banyak Ngampar dan Arya Catra, putra mahkota murka dan menyerang Arya Banyak Wide, kedua putra pangeran tadi kalah sakti dengan Banyak Wide dan melarikan diri kea rah timur sampai disuatu hutan yang ditumbuhi pohon maja dan buahnya pahit. Arya Banyak Catra membabat hutan tadi sesuai petunjuk Sang Pertapa Sakti bernama Anjar Cemara Tunggal. Dikemudian hari daerah itu menjadi pusat Kerajaan Majapahit. Raden Banyak Wide alias Ciung Wanara dinobatkan menjadi Raja Pajajaran.

C.      Lutung Kasarung dan Nilai-nilai Kepahlawanan Ciung Wanara

Raden Banyak Wide, setelah menjadi raja di Pajajaran bersumpah tidak akan menikah, apabila tidak menemukan wanita yang paras mukanya seperti Sang Ibundanya. Maka beliau memutuskan untuk mendari wanita dimaksud dengan menyamar menjadi seekor “Lutung” atau budeng. Yaitu sejenis kera atau wanara yang berwarna hitam. Sahdan sampailah Sang Lutung Kesarung sampai di daerah kerajaan Pasir Luhur, Raja Pasir Luhur bergelar Raden Aryawiraraja. Beliau memiliki lima orang putrid, yang bungsu bernama Dewi Ciptarasa. Pada suatu ketika Sang Prabu Pasir Luhur berburu ke hutan, dan dapat menangkap Lutung Kasarung, Kasarung asalnya kasarung yang artinya tersamar atau samara. Jadi Lutung Kasarung artinya lutung samara Raden Kamandhaka, yang tidak lain adalah Ciung Wanara atau Banyak Wide, Lutung Kasarung setelah dibawa ke istana tidak mau dirawat oleh putrid-putri baginda kecuali oleh Dewi Ciptarasa.

Pada saat-saat sepi tertentu dan dalam keadaan sendirian di kamar, Ciptarasa dapat melihat wujud asli dari Sang Lutung. Sebenarnya Dewi Ciptarasa tidak lama lagi akan dinikahkan dengan Prabu Pulebahas dari pulau Nusakambangan. Saran dari Sang Lutung agar mengikuti apa yang menjadi kehendak Sang Prabu, namun dengan permintaan akan pertemuan pengantin nanti dilakukan di perempatan kalan dekat alun-alun. Pada hari yang telah ditetapkan pertemuan pengantin antara Prabu Pulebahas dengan Dewi Ciptarasa dilaksanakan, Sang Lutung Kasarung meloncat dan menerkam leher Prabu Pule Bahas yang  sangat sakti digigit dan akhirnya tewas seketika di tempat. Sang Lutung Kasarung menjelma menjadi wujud yang sebenarnya, yaitu Raden Kamandaka atau banyak Wide raja Pajajaran. Demikianlah Ciung Wanara sebagai pahlawan menyelamatkan keangkara murkaan Prabu Pulebahas yang sewenang-wenang memaksakan kehendak terhadap Raja Pasir Luhur untuk mengambil Ciptarasa.

D.      Nilai-nilai Kepahlawanan Ciung Wanara Dalam Puputan Margarana

Nasionalisme I Gusti Ngurah Rai mendapat tantangan dan ujian yang sangat berat dan menentukan. Setelah sekian lama beliau bergerilya dengan melakukan “Long March” sambil bertempur dan menanamkan semangat dan jiwa Patriotisme Nasionalisme kepada masyarakat sewilayah Bali, dan khususnya kepada Pasukan Induk DPRI Sunda Kecil (Dewan Perjuangan Republik Indonesia) Pasukan Induk DPRI, terdesak dan kekurangan amunisi serta logistik karena pasukan Gajah Merah/NICA telah mengepung dan menguasai seluruh wilayah Bali. Dalam kondisi seperti itu Pak Rai mengambil sikap dan keputusan yang sangat bijak, yaitu memecah pasukan induk menjadi pasukan kecil-kecil dan bermarkas serta berjuang secara bergerilya diwilayahnya masing-masing.

I Gusti Ngurah Rai beserta beberapa pimpinan TKR/DPRI merencanakan untuk pergi ke Jawa meminta bantuan pasukan dan persenjataan serta amunisi untuk meneruskan gerilya di Bali. Namun rencana tersebut tidak dapat dilaksanakan oleh karena seluruh daerah pesisir pantai sewilayah Bali telah diblokade dan diawasi secara ketat oleh pasukan NICA dan mata-mata NICA (NICA Gandek). Kemudian Pak Rai melakukan konsolidasi pasukan, membentuk pasukan inti Ngurah Rai yang diberi nama pasukan “Ciung Wanara”. Dalam pasukan Ciung Wanara itu bergabung para pemuda pejuang dari sektor Marga dan pasukan intel/khusus dari pasukan induk DPRI. Jumlah kekuatan pasukan Ciung Wanara ialah 96 personil prajurit dengan persenjataan yang lengkap didapat dari bantuan para pemuda dan Wagimin yang berhasil menyerang tangsi Polisi Belanda di Tabanan dan merampas semua persenjataan dan amunisinya.

Lambang pasukan Ciung Wanara ialah seekor ciung dalam dimensi terbang di angkasa, dan di atas punggungnya duduk seekor wanara dengan tangan mengepal kedepan. Pada kaki burung Ciung mencengkram dengan kokohnya sebuah pita Sang Dwiwarna Merah Putih. Secara deskripsi, Ciung adalah burung beo, yang pandai berwicara. Hal itu melambangkan intelektualitas yang tinggi, maka “Kukila” yang artinya burung menjadi lambing Depdikbud, Tut Wuri Handayani. Wanara artinya kera, yaitu prajurit yang gagah berani dari Kiskindha membela Rama dalam menegakkan kebenaran dan memberantas keangkara murkaan. Sama dengan Lutung Kasarung memusnahkan Prabu Pulebahas dari Nusakambangan. Kemudian Sang Dwiwarna Merah Putih, ialah lambang Patriotisme dan Nasionalisme, yang berarti harus memegang teguh cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945. Hal ini dibuktikan dalam isi surat sakti I Gusti Ngurah Rai kepada FH. Teurmulen, yang intinya pantang menyerah, apalagi berkompromi dan akan berjuang sampai cita-cita terwujud. Adapun angkasa biru melambangkan ketinggian cita-cita luhur dengan penuh keyakinan sekali merdeka tetap merdeka dilambangkan kepalan tangan wanara.

Secara etimologis, Ciung Wanara berasal dari Mitologi Raden Banyak Wide raja Pajajaran, hal ini mengingatkan hubungan Bali dengan Kesatrya Kalingga (Keling) Wangsa Sanjaya dari Mataram Hindu Jawa Tengah yang asal-usulnya dari Pajajaran. Keturunan Kesatrya Kalingga yang pernah mendidikan kerajaan Sanghamandawa di Bali, pada kemudian hari banyak yang menduduki jabatan-jabatan Panglima Perang dengan julukan “Jelantik”. Ciung adalah sinonim dari nama burung beo, dan Wanara adalah kera.

Secara simbolik Ciung memiliki konotasi dengan burung Jatayu dalam epos Ramayana, dan melambangkan kebijaksanaan atau pejunjuk yang benar dan pasti walau dalam bahasa sandhi “..leng..” namun dapat diterjemahkan dan dicerna oleh prajurit Wanara dengan tepat menjadi Alengkadiraja, dan rajanya Rahwana yang menculik Dewi Sinta. Jadi Ciung melambangkan profesionalisme dan Wanara melambangkan keprajuritan, yang dianggap cerdas dan berdisiplin tinggi.

Secara filosofis, maka Ciung Wanara memiliki arti dan makna yang sangat luas dan mendalam sebagai identitas jatidiri prajurit dan pahlawan. Makna filosofis tersebut tertuang dalam lambang pasukan inti Ngurah Rai Ciung Wanara, yang menggambarkan “Profesionalisme prajurit yang berwatak kesatria, komitmen kepada cita-cita  Proklamasi 17 Agustus 1945 dengan didasari, jiwa patriotisme dan nasiolisme yang tinggi”. Makna filosofis tersebut telah dibuktikan oleh Pasukan Ciung Wanara dalam Puputan Margarana tanggal 20 Nopember 1946. Nilai-nilai filosofis Ciung Wanara adalah bersifat mendasar dan universal sejalan dengan isi konstitusi UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “setiap warga negara berhak terhadap upaya pembelaan negara” dalam arti yang seluas-luasnya. Oleh sebab itu, Jiwa Semangat dan Nilai-nilai Kepahlawanan Ciung Wanara akan tetap relevans kapanpun dan dimanapun dalam kerangka reformasi dan normalisasi kehidupan berbangsa dan bernegara, serta untuk menghadapi tantangan globalisasi pada era millennium ketiga.

Demikian sekelumit bahasan secara kritis yang berkaitan dengan semangat kepahlawanan pasukan Ciung Wanara dalam Puputan Margarana ditinjau dari aspek mitologi, babad, sejarah, idealisme dan nilai-nilai perjuangan kejuangan serta bela bangsa dan negara. Harapan penulis semoga Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sang Hyang Widi Wasa memberikan asung kerta waranugraha kepada kita sebagai bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur dan memiliki komit-komit terhadap cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945

Merdeka. Sekali Merdeka Tetap Merdeka